QANUN PROVINSI NANGGROE AC2H DARUSSALAM
NOMOR 12 TAHUN 2002
TENTANG
PERTAMBANGAN UMUM, MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang :
a. bahwa Sumber Daya Alam adalah Anugerah Allah SWT yang
harus dikelola secara efektif dan efisien sehingga bermanfaat
bagi kesejahteraan rakyat;
b. bahwa pengelolaan Pertambangan Umum, Minyak Bumi dan
Gas Alam sebagai bagian dari pengelolaan Sumber Daya
Alam, harus dilaksanakan dengan memperhatikan
kepentingan negara dan daerah di mana kegiatan itu
dilaksanakan;
c. bahwa undang-undang Nomor 18 tahun 2001, telah
memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi daerah untuk
menggali dan memberdayakan Sumber Daya Alam yang ada
dia daerah;
d. bahwa untuk melaksanakan yang dimaksud tersebut pada
huruf a, b, dan c, perlu ditetapkan dengan Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 24 Tabun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonomi Propinsi Aceh dan perubahan peraturan
pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1103);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2043);
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2831);
4. Undang-undang nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun1997 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
5. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan. Propinsi Daerah Istimewa
Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839 );
7. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3848 );
8. Undang-undang Nomor 18 tentang Otonomi Khusus bagi
Propinsi Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
9. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan
Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001
Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah
Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
11. Peraturan. Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan pemerintah Nomor 32
Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor II
Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4154);
12. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG PERTAMBANGAN UMUM, MINYAK BUMI DAN GAS
ALAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Perangkat
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta
para Menteri.
2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta Perangkat Daerah
Otonomi yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
5. Qanun adalah Peraturan Daerah sebagai Pelaksanaan Undang-undang
di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka
Pelaksanaan Otonomi Khusus.
6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka mengetahui
potensi, keterdapatan, kualitas, kuantitas bahan galian, kegiatan
pertambangan, pengolahan/pemumian, pengangkutan dan penjualan.
7. Bahan galian adalah unsur-unsur kimia, mineral bijih segala macam
batuan, batubara, dan gambut yang merupakan endapan/suspensi
alam.
8. Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat
termasuk aspal, ozokerit (lilin mineral) dan bitumen yang diperoleh dari
proses penambangan tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan
yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas
alam.
9. Gas Alam adalah basil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang
diperoleh dari proses penambangan minyak bumi dan gas alam, antara
lain liquefied Natural Gas (LNG) yaitu gas bumi yang diubah menjadi
cair untuk memudahkan pengangkutan.
10. Bahan Bakar minyak adalah bahan bakar yang berasal dan atau diolah
dari minyak bumi.
11. Penyelidikan umum adalah Penyelidikan secara Geologi umum atau
Geofisika, di daratan, perairan, dan dari udara, segala sesuatu untuk
membuat peta Geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda
adanya bahan galian pada umumnya.
12. Eksplorasi adalah penyelidikan untuk memperoleh informasi secara
teliti dan seksama tentang kualitas dan kuantitas bahan galian serta
keterdapatan dan sebarannya.
13. Eksploitasi adalah tahapan usaha pertambangan untuk menghasilkan
dan memanfaatkan bahan galian.
14. Kontrak kerja sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk-bentuk
kontrak kerja sama lain dalam kegiatan kerja sama eksplorasi dan
eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan Daerah serta
hasilnya dipergunakan sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat.
15. Wilayah kerja adalah daerah tertentu untuk melaksanakan eksplorasi
dan eksploitasi.
16. Pengolahan/pemumian adalah tahapan usaha pertambangan untuk
mempertinggi mutu bahan galian untuk memperoleh unsur yang
tercapai pada bahan galian itu serta memanfaatkannya.
17. Pengangkutan adalah tahapan usaha pertambangan untuk
memindahkan bahan galian dan hasil pengolahan/pemumian bahan
galian dari daerah kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan tempat
pengolahan/pemumian.
18. Penjualan adalah tahapan usaha pertambangan untuk menjual bahan
galian dan hasil pengolahan/pemumian bahan galian.
19. Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada
badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan.
20. Pertambangan Rakyat adalah usaha pertambangan yang dilakukan
oleh masyarakat setempat.
21. Waste adalah tanah/batuan yang berada di atas (overburden), di antara
(interburden) atau di sekeliling bahan galian yang ikut tergali tetapi
tidak dimanfaatkan.
22. Jasa pertambangan adalah kegiatan jasa untuk melakukan kegiatan
yang berhubungan dengan kuasa pertambangan dan kegiatan
penunjangnya.
23. Izin adalah Kewenangan yang diberikan kepada badan usaha untuk
melaksanakan kegiatan tertentu di bidang minyak bumi dan gas alam.
24. Persetujuan adalah pemyataan setuju yang diberikan secara tertulis
kepada badan usaha untuk melaksanakan kegiatan tertentu di bidang
minyak bumi dan gas alam.
25. Lifting adalah bagian dari produksi minyak bumi dan gas alam yang
dijual.
26. Rekomendasi adalah keterangan yang diberikan kepada badan usaha
sebagai syarat untuk mendapatkan izin.
27. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi kegiatan usaha minyak dan gas alam, serta Pertambangan
Umum.
28. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang menjalankan jenis
usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus, dan yang didirikan sesuai
dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bekerja,
berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia,
29. Bentuk Usaha Tetap adalah Badan usaha yang didirikan dan berbadan
hukum di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan melakukan
kegiatan di wilayah Republik Indonesia.
30. Wilayah kuasa pertambangan atau wilayah kerja kontraktor adalah
daerah tertentu dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk
melakukan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi minyak bumi dan gas
alam.
BAB II
PENGUASAAN BAHAN GALIAN
Pasal 2
1. Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam baik di daratan maupun di perairan, yang merupakan
kekayaan alam adalah milik Nasional Bangsa Indonesia dan oleh
karenanya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
2. Bahan-bahan galian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
tiga golongan :
a. golongan bahan galian strategis
b.
b, golongan bahan galian vital ; dan
c. golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan a dan b.
3. Penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
BAB III
PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN UMUM
Pasal 3
(1) Setiap usaha pertambangan umum baru dapat dilaksanakan apabila
telah mendapat Kuasa Pertambangan (KP) Kontrak Karya (KK),
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B),
Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) dan Surat Izin Pertambangan
Rakyat (SIPR) dari Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan
Kewenangannya.
(2) Pemberian Kuasa Pertambangan bahan galian strategis (non migas)
dan vital oleh Bupati/Walikota diberikan setelah mendapat izin prinsip
atau persetujuan dari Gubernur.
(3) Pemberian Kuasa Pertambangan bahan galian non strategis dan non
vital (golongan galian c) untuk luas wilayah > 10 (sepuluh ) hektare
atau menggunakan peralatan berat dan atau bahan peledak hanya
dapat diberikan oleh Bupati/Walikota setelah mendapat izin prinsip
atau persetujuan dari Gubernur.
(4) Usaha Pertambangan dalam rangka pemberian kuasa pertambangan
dapat diberikan kepada :
a. perusahaan Negara
b. perusahaan Daerah
c. perusahaan Swasta Nasional
d. koperasi ;
e. perorangan
f. perusahaan dengan modal bersama antara negara /perusahaan di
satu pihak dengan Provinsi dan atau Kabupaten atau Perusahaan
Daerah di pihak lain ; dan
g. perusahaan dengan modal bersama antara Negara/Perusahaan
Negara dan atau Daerah/Perusahaan Daerah di satu pihak dengan
Badan dan atau Perseorangan Swasta di pihak lain.
(5) Usaha Pertambangan Umum dalam rangka Kontrak Karya (KK),
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia yang bergerak di bidang
Pertambangan Umum pengaturan lebih lanjut ditetapkan dalam
Keputusan Gubernur.
(6) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
Bahan Galian Radio Aktif hanya diusahakan oleh instansi yang
berwenang.
Pasal 4
(1) Kuasa Pertambangan (KP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat
(1) diberikan dalam bentuk :
a. surat Keputusan pemberian kuasa pertambangan
b. surat keputusan penugasan pertambangan ; dan
c. surat keputusan izin pertambangan rakyat.
(2) Kuasa Pertambangan terdiri atas :
a. kuasa pertambangan penyelidikan umum
b. kuasa pertambangan eksplorasi
c. kuasa pertambangan eksploitasi
d. kuasa pertambangan pengolahan dan pemumian
e. kuasa pertambangan pengangkutan ; dan
(3) kuasa pertambangan
penjualan.
BAB IV
TATA CARA MEMPEROLEH KUASA PERTAMBANGAN
Pasal 5
(1) Permohonan Kuasa pertambangan diajukan secara tertulis kepada
Gubernur dengan melampirkan persyaratan yang diperlukan.
(2) Bentuk dan syarat–syarat permohonan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
(3) Apabila dalam satu wilayah terdapat lebih dari satu pemohon, maka
prioritas pertama diberikan, ditentukan oleh Gubernur berdasarkan
urutan dan kelengkapan pengajuan permohonan.
BAB V
LUAS WILAYAH
Pasal 6
(1) Luas wilayah Nan6 dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa
Pertambangan penyelidikan Umum maksimal 25.000 hektar.
(2) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa
pertambangan eksplorasi maksimal 10.000 hektar.
(3) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa
Pertambangan eksploitasi maksimal 5.000 hektar.
Pasal 7
(1) Jumlah wilayah Kuasa Pertambangan yang dapat diberikan kepada
perusahaan atau perorangan maksimum 5 (lima) wilayah.
(2) Untuk mendapatkan luas wilayah Kuasa Pertambangan atau jumlah
wilayah Kuasa Pertambangan melebihi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam. pasal 6 dan pasal 7 ayat (1) harus terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari Gubernur.
BAB VI
MASIH BERLAKUNYA KUASA PERTAMBANGAN
Pasal 8
Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diberikan oleh Gubernur untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun lagi
apabila diperlukan.
Pasal 9
(1) Kuasa Pertambangan Eksplorasi diberikan oleh Gubernur untuk jangka
waktu selama-lamanya 3 (tiga) tahun.
(2) Gubernur dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali 1 (satu) tahun.
(3) Apabila pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi menyatakan akan
meningkatkan usaha pertambangan ke tahap eksploitasi Gubernur
dapat memberikan perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksplorasi
selama-lamanya 3 (tiga) tahun untuk pembangunan fasilitas
Eksploitasi.
Pasal 10
(1) Kuasa Pertambangan Eksploitasi diberikan oleh Gubernur untuk
jangka waktu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.
(2) Gubernur dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali 5 (lima) tahun.
Pasal 11
(1) Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemumian diberikan oleh
Gubernur untuk jangka waktu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.
(2) Gubernur dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali 5 (lima ) tahun.
Pasal 12
(1) Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan diberikan oleh
Gubernur untuk jangka waktu selama- lamanya 10 (sepuluh) tahun.
(2) Gubernur dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) untuk jangka waktu setiap kali perpanjangan 5 (lima) tahun.
Pasal 13
Permohonan perpanjangan Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9,10,11,12 diajukan pemohon secara tertulis kepada Gubernur
sebelum berakhir masa berlakunya.
BAB VII
PENUGASAN PERTAMBANGAN
Pasal 14
(1) Kuasa Pertambangan penugasan dapat diberikan kepada instansi
Pemerintah atau Perguruan Tinggi dalam rangka penelitian bahan
galian.
(2) Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
BAB VIII
PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 15
(1) Bupati/Walikota sebelum memberikan izin Pertambangan Rakyat
terlebih dahulu Gubernur menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat
setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Gubernur atau Dinas
terkait di Provinsi,
(2) Usaha Pertambangan Rakyat hanya diberikan kepada perorangan dan
atau kelompok masyarakat.
(3) Pengaturan lebih lanjut tentang wilayah kerja Pertambangan Rakyat
ditetapkan berdasarkan keputusan Bupati/Walikota dengan
mempedomani peta "Zonasi Pertambangan" Provinsi.
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG KUASA PERTAMBANGAN
Pasal 16
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan berhak untuk melakukan kegiatan di
dalam wilayah kekuasa pertambangannya sesuai tahapan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1).
(2) Pemegang Kuasa Pertambangan penyelidikan umum berhak untuk
meningkatkan usahanya ketahap eksplorasi dengan mengajukan
permohonan tertulis kepada Gubernur dengan memenuhi persyaratan
yang ditentukan,
(3) Pemegang Kuasa Pertambangan eksplorasi berhak untuk
meningkatkan usahanya ketahap eksploitasi dengan mengajukan
permohonan tertulis kepada Gubernur dengan memenuhi persyaratan
yang diperlukan.
(4) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau kuasa
Pertambangan Eksploitasi berhak memiliki bahan galian yang tergali
setelah memenuhi kewajiban membayar iuran tetap dan iuran
eksplorasi/eksploitasi,
Pasal 17
(1) Pemegang Kuasa pertambangan diwajibkan menyampaikan laporan
mengenai hasil penyelidikan dan atau/perkembangan kegiatan yang
telah dilakukan, kepada Gubernur secara bertahap setiap 3 (tiga)
bulan sekali.
(2) Di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat
(1), Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan menyampaikan
laporan akhir kegiatan/tahunan kepada Gubernur mengenai
perkembangan pekerjaan yang telah dilakukan.
(3) Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan membayar iuran tetap
setiap tahun sesuai luas dan tahapan kegiatan.
(4) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar
iuran eksplorasi bahan galianitasi tergali sesuai dengan tarif
berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(5) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar
iuran eksploitasi/produksi atas hasil produksi yang diperoleh sesuai
dengan tarif berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai besamya iuran dan tata cara
pembayaran iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi/produksi
ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
Pasal 18
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib dan bertanggung jawab atas
keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sesuai dengan Perundangundangan yang berlaku.
(2) pemegang Kuasa Pertambangan wajib melakukan pengelolaan dan
memelihara kelestarian lingkungan sesuai ketentuan Perundangundangan yang berlaku di bidang Lingkungan hidup.
BAB X
BERAKHIMYA KUASA PERTAMBANGAN
Pasal 19
(1) Apabila setelah berakhimya jangka waktu pemberian Kuasa
Pertambangan tidak diajukan peningkatan atau perpanjangan oleh
pemegang Kuasa Pertambangan, pemegang Kuasa Pertambangan,
dinyatakan berakhir dan segala usaha pertambangan harus
dihentikan.
(2) pemegang Kuasa Pertambangan dapat mengembalikan Kuasa
Pertambangan kepada Gubernur dengan mengajukan permohonan
secara tertulis disertai dengan alasan-alasan mengenai pengembalian
tersebut.
(3) Pengembalian Kuasa Pertambangan baru sah setelah mendapat
persetujuan dari Gubernur.
(4) Kuasa Pertambangan dapat dibatalkan oleh Gubernur walaupun masa
berlakunya belum berakhir apabila pemegang Kuasa Pertambangan
tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban dalam keputusan Kuasa
Pertambangan maupun berdasarkan ketentuan-ketentuan lain yang
berlaku.
(5) Sebagai akibat berakhimya Kuasa Pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) pemegang Kuasa Pertambangan
tetap harus menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang belum dipenuhi
selama berlakunya Kuasa Pertambangan.
BAB XI
PEMINDAHAN KUASA PERTAMBANGAN
Pasal 20
(1) Dalam rangka meningkatkan usaha maka Kuasa Pertambangan dapat
dipindahkan ke badan atas persetujuan Gubernur.
(2) Tata cara dan persyaratan pemindahan Kuasa Pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur.
BAB XII
KETENTUAN KERJASAMA USAHA
Pasal 21
(1) Kuasa Pertambangan tidak dapat dipergunakan sebagai unsur
permodalan dengan pihak ketiga.
(2) Pemegang Kuasa Pertambangan dapat bekerjasama dengan pihak
lain setelah mendapat persetujuan dari Gubernur.
(3) Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur,
BAB XIII
PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI
Pasal 22
(1) Kegiatan Pengusahaan Minyak Bumi dan Gas Alam yang dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas :
a. persetujuan penggunaan wilayah Kuasa Pertambangan atau
wilayah Kerja kontraktor untuk kegiatan lain di luar kegiatan minyak
bumi dan gas alam ;
b. rekomendasi prosedur penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan kegiatan minyak bumi dan gas alam ;
c. izin pendirian dan penggunaan gudang bahan peledak di daerah
operasi daratan dan di daerah operasi 12 (dua belas) mil laut ;
d. izin pembukaan Kantor perwakilan perusahaan di sub sektor
minyak bumi dan gas alam;
e. rekomendasi lokasi pendirian kilang
f. izin pendirian depot lokal ;
g. izin pendirian stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU)
h. izin pemasaran jenis-jenis bahan bakar khusus (BBK) untuk mesin
2 (dua) langkah ;
i. izin pengumpulan dan penyaluran pelumas bekas ; dan
j. persetujuan surat keterangan terdaftar perusahaan jasa penunjang,
kecuali yang bergerak di bidang fabrikasi, konstruksi, manufaktur,
konsultan, dan teknologi tinggi.
(2) Pemberian izin pada kegiatan usaha hulu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf c, d dan pada kegiatan hilir huruf f, g, h, i
diberikan oleh Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan dari
Gubernur.
(3) Pengusahaan minyak bumi dan gas alam sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22 ayat (1) huruf a sampai huruf j dapat dilaksanakan
oleh :
a. Badan Usaha Milik Negara ;
b. Badan Usaha Milik Daerah ;
c. Koperasi ; dan
d. Badan Usaha Swasta.
Pasal 23
(1) Wilayah kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau
Bentuk Usaha tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi
dengan Gubernur.
(2) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap hanya diberikan
1 (satu) wilayah kerja
(3) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan
beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk Badan Hukum yang terpisah
untuk setiap Wilayah Kerja
Pasal 24
Rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan
dalam suatu wilayah kerja harus mendapatkan persetujuan Menteri
berdasarkan pertimbangan Badan Pelaksana dan setelah berkonsultasi
dengan Gubernur.
Pasal 25
(1) Perumusan dan pelaksanaan kontrak kerjasama serta
perpanjangannya, dilaksanakan oleh Pemerintah bersama dengan
Gubernur.
(2) Dalam membahas dan menentukan Rencana Tahunan serta
penentuan Budget (Work Program dan Budget), perlu keikutsertaan
Pihak Pemerintah Provinsi.
(3) Kontrak Production Sharing (KPS) berkewajiban menyampaikan
laporan produksi dan keuangan setiap triwulan serta laporan tahunan
kepada Gubernur.
Pasal 26
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, 24 dan
25, Gubernur membentuk Tim Pertimbangan Teknis Daerah yang terdiri dari
unsur-unsur terkait.
Pasal 27
Tugas Tim Pertimbangan Teknis Daerah antara lain
a. membantu/bekerja sama dengan Badan Pelaksana dan Badan
Pengatur dalam rangka pelaksanaan kegiatan hulu dan hilir minyak
bumi dan gas alam.
b. memberikan pertimbangkan dan masukan kepada Gubernur, dalam
rangka tugas Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal
23, 24 dan. 25, melakukan pemantauan ketersediaan dan distribusi
bahan bakar minyak bumi dan gas alam.
c. melakukan pemantauan pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan
penyimpanan bahan bakar minyak bumi dan gas alam,
d. melakukan pemantauan penerimaan perimbangan dana minyak bumi
dan gas alam berdasarkan lifting yang ditetapkan Pemerintah; dan
e. melakukan pemantauan dan evaluasi dari kegiatan hulu dan hilir.
BAB XIV
KEMITRAUSAHAAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pasal 28
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KY,),
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan
Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) serta Kontrak Production
Sharing (KPS) diwajibkan menjalin hubungan kemitraan dalam
menjalankan usahanya guna menghindari munculnya anak
perusahaan dari usaha yang dijalankan tersebut.
(2) Pemegang Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Surat Izin
Pertambangan Daerah (SIPD) serta Kontrak Production Sharing (KPS)
berkewajiban untuk mendanai Program Pengembangan Masyarakat
(Community Development-CD) sebesar 1% dari total biaya yang
dikeluarkan perusahaan. Dana Community Development bukan
sebagai unsur ongkos, tetapi bagian dari keuntungan perusahaan.
(3) Wilayah Community Development meliputi lingkungan dan masyarakat
yang bersinggungan langsung dengan kegiatan perusahaan (30%),
kabupaten/kota (30%) dan Provinsi (40%).
(4) Program dan kegiatan Community Development difokuskan pada
upaya pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan
skala prioritas masyarakat dan wilayah kelompok sasaran.
(5) Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan diatur secara sinergi
antara perusahaan dengan pemerintah setempat. Pemerintah
setempat adalah
a. Gampong, Mukim dan Kecamatan untuk wilayah yang
bersinggungan langsung ;
b. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota yang bersangkutan ; dan
c. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Pasal 29
(1) Bentuk kemitraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 antara lain :
a. menyerahkan kepada kelompok masyarakat setempat dan atau
Koperasi sebagian lahan yang mengandung bahan galian berikut
data potensinya
b. membeli hasil produksi usaha pertambangan yang dilakukan rakyat
c. membina atau sebagai bapak angkat usaha pertambangan rakyat ;
d. memberikan kesempatan kepada pengusaha kecil atau menengah
setempat untuk melakukan kegiatan penunjang ; dan
e. memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat ikut serta
dalam pelaksanaan reklamasi.
(2) Pemegang kuasa pertambangan wajib memprioritaskan tenaga kerja
setempat dalam kegiatan usahanya.
(3) Pemegang kuasa pertambangan yang telah mencapai kegiatan
eksploitasi/produksi wajib melaksanakan pengembangan wilayah dan
masyarakat meliputi peningkatan sumber daya manusia, kesehatan,
sarana dan prasarana serta pertumbuhan ekonomi.
(4) Pemegang kuasa pertambangan yang telah mencapai
eksploitasi/produksi wajib membina, menumbuh kembangkan dan
menjadi bapak angkat usaha kecil dan menengah setempat.
(5) Perencanaan dan pelaksanaan pengembangan wilayah dan
masyarakat dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi dan
masyarakat setempat.
Pasal 30
(1) Gubernur bersama-sama dengan Lembaga Masyarakat setempat
melakukan pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan
pengembangan wilayah, kemitrausahaan dan pengembangan
masyarakat.
(2) Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
BAB XV
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 31
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib melaksanakan prinsip-prinsip
konservasi bahan galian dan pertambangan.
(2) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib melakukan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan serta reklamasi lahan bekas tambang yang
dilaksanakan sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
yang telah disetujui.
(3) Peruntukan lahan bekas tambang dan tingkat produktivitas lahan
setelah reklamasi ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan
kewenangannya dengan mengikutsertakan masyarakat dan pemilik
tanah/lahan.
(4) Peruntukkan lahan bekas tambang dicantumkan dalam perjanjian
penggunaan tanah.
Pasal 32
(1) Sebelum melakukan kegiatan penambangan atau operasi produksi,
pemegang kuasa pertambangan wajib menempatkan jaminan
reklamasi.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penempatan, penyetoran dan besarnya
jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 33
(1) Gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan
oleh pemegang kuasa pertambangan.
(2) pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan selama usaha pertambangan berlangsung
dan pada pasca tambang.
BAB XVI
HUBUNGAN PEMEGANG USAHA PERTAMBANGAN DENGAN
HAK ATAS TANAH
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib menggantikan kerugian
kepada yang berhak, atas kerusakan sesuatu yang berada di atas
tanah, di dalam atau di luar wilayah kuasa Pertambangannya akibat
dari Usahanya baik perbuatan itu dilakukan dengan sengaja atau
tidak:
(2) Besarnya ganti rugi hak atas tanah dapat dilakukan sekaligus atau
selama hak tanah tersebut tidak dapat digunakan yang ditentukan
bersama-sama antara pemegang kuasa Pertambangan dengan yang
berhak.
Pasal 35
(1) pemegang Kuasa Pertambangan tahap eksploitasi selain diwajibkan
mengganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1)
juga diwajibkan menggantikan lahan yang digunakan dalam
kegiatannya.
(2) Kerugian disebabkan oleh usaha dari dua pemegang Kuasa
Pertambangan atau lebih dibebankan kepada mereka secara
bersama.
Pasal 36
(1) Apabila telah diperoleh kuasa Pertambangan atas sesuatu daerah
atau wilayah, maka pemegang hak atas tanah diwajibkan
memperbolehkan kegiatan usaha pertambangan pada tanah yang
bersangkutan dengan ketentuan diberi ganti rugi terlebih dahulu atas
dasar musyawarah dan mufakat.
(2) Segala biaya yang berhubungan dengan proses ganti rugi dibebankan
kepada pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan.
Pasal 37
(1) Apabila para pihak yang bersangkutan tidak mencapai kata sepakat
tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 dan pasal
35 maka penentuannya diserahkan kepada Gubernur setempat.
(2) Apabila para pihak yang bersangkutan tidak dapat menerima
penentuan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan setempat.
Pasal 38
Apabila telah diberikan Izin Kuasa Pertambangan pada sebidang tanah
yang di atasnya tidak terdapat hak atas tanah, maka tanah tersebut tidak
dapat diberi hak atas tanah lain kecuali dengan persetujuan Gubernur
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 39
Tata cara pelaksanaan dan penetapan ganti rugi atas tanah sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 34, 35, 36 dan 37 dilakukan sesuai dengan
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku,
BAB XVII
PENERIMAAN KEUANGAN
Pasal 40
(1) pemegang Kuasa pertambangan wajib memenuhi kewajiban berikut
a. iuran tetap untuk wilayah kuasa pertambangan ;
b. iuran produksi (royalty) untuk bahan galian yang dijual dan atau
dimanfaatkan ;
c. pajak penghasilan badan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh pemegang kuasa pertambangan ;
d. kewajiban memotong pajak penghasilan atas pembayaran dividen,
bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian utang,
sewa, royalty, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, imbalan atas jasa teknik dan jasa manajemen
serta jasa lainnya :
e. pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk. 1vilayah izin usaha
pertambangan dan penggunaan bumi dan bangunan dimana
pemegang kuasa pertambangan membangun fasilitas operasi
penambangan ; dan
f. bagian penerimaan perimbangan minyak bumi dan gas alam.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur.
(3) Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP) yang berasal dari kegiatan
pengusahaan minyak dan gas bumi terdiri utas:
a. dana perimbangan
b. iuran tetap
c. iuran eksplorasi dan eksploitasi ; dan
d. bonus.
4. Dalam rangka optimalisasi penerimaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) terlebih dahulu perlu dilakukan audit keuangan badan usaha
atau bentuk usaha tetap oleh auditor independen.
Pasal 41
Pemegang kuasa pertambangan tidak diwajibkan membayar Pajak Daerah
dan Iuran Produksi akibat ikut tergalinya waste.
BAB XVIII
KEADAAN MEMAKSA
Pasal 42
(1) Apabila terdapat keadaan memaksa yang tidak dapat diperkirakan
terlebih dahulu (keadaan memaksa), sehingga pekerjaan dalam suatu
wilayah Izin Usaha Pertambangan terpaksa dihentikan seluruhnya
atau sebagian, maka Gubernur atau dapat menentukan tenggang
waktu/moratorium yang diperhitungkan dalam jangka wakt
(2) Dalam tenggang waktu/moratorium sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), hak dan kewajiban pemegang kuasa pertambangan tidak
berlaku.
(3) Gubernur mengeluarkan keputusan mengenai tenggang
waktu/moratorium tersebut, mengenai keadaan memaksa di daerah
dimana wilayah kuasa pertambangan tersebut terletak, untuk dapat
atau tidaknya melakukan usaha pertambangan.
(4) Gubernur harus mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya
permintaan tenggang waktu/moratorium sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan sesudah diajukannya permintaan tersebut.
Pasal 43
(1) Pemegang kuasa pertambangan dapat menunda kegiatan usahanya
dengan persetujuan Gubernur sebagai akibat dari suatu keadaan yang
menghalangi kegiatan usahanya.
(2) Setiap penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mengurangi pelaksanaan hak dan kewajiban pemegang kuasa
Pertambangan.
BAB XIX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 44
1) Dalam rangka pembinaan, pemerintah turut memberi pedoman,
bimbingan, arahan dan supervisi penyelenggaraan usaha
pertambangan di Provinsi.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan usaha pertambangan di
Kabupaten/Kota, Gubernur menyiapkan dan memberikan pendidikan
dan pelatihan kepada aparat Kabupaten/Kota.
Pasal 45
Pembinaan Usaha Pertambangan Umum juga dilakukan dengan
menyelenggarakan bimbingan, penyuluhan dan pelatihan kepada
pemegang kuasa Pertambangan, Pertambangan Rakyat dan kelompok
penambang lainnya.
Pasal 46
(1) Pengawasan dan pengendalian usaha pertambangan umum
dilaksanakan oleh Gubernur, Lembaga Swadaya Masyarakat dan
masyarakat setempat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 47
Pelaksanaan Pengawasan Usaha Pertambangan Umum dilakukan pada
semua tahapan usaha pertambangan sampai dengan pasca tambang
mencakup aspek keselamatan dan kesehatan kerja tambang, lingkungan
hidup, konservasi, produksi, pemasaran, keuangan, ketenagakerjaan,
pengelolaan data, pelaksanaan penggunaan produksi dalam negeri,
penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi, serta penerapan
standar pertambangan umum.
Pasal 48
Pelaksanaan pengawasan terhadap aspek keselamatan dan kesehatan
kerja pertambangan serta lingkungan hidup sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 46 dilakukan oleh Pelaksana Inspeksi Tambang (PIT).
BAB XX
PENYEELESAIAN SENGKETA
Pasal 49
(1) Bila dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan terjadi
sengketa antara pihak, ma.1ca para pihak yang berselisih dapat
menyelesaikan dengan cara melalui badan arbitrasi.
(2) Dalam hal penyelesaian masalah melalui konsilidasi tidak tercapai
maka penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum yang berlaku.
BAB XXI
PENYIDIKAN
Pasal 50
(1) Pejabat Pegawai Negeri tertentu dilingkungan Pemerintah Provinsi
diberi wewenang sebagai penyidik untuk membantu penyelidikan
tindak pidana di bidang pengusahaan pertambangan.
(2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan
mulai penyidikan dan menyampaikan basil penyidikannya kepada
penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kaftan
Undang-undang Hukum Acara Pidana,
BAB XXII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 51.
(1) Barang siapa degan sengaja melakukan kegiatan pertambangan tanpa
mempunyai kuasa pertambangan tahap eksploitasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) dan pasal 13 ayat (1) melakukan
penambangan sehingga menimbulkan kerugian Negara dan atau
Provinsi serta kerusakan lingkungan diancam dengan pidana sesuai
dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku di bidang
Lingkungan Hidup.
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan kegiatan eksplorasi tanpa
mempunyai kuasa pertambangan eksplorasi, diancam dengan pidana
sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemegang Kuasa pertambangan yang dengan sengaja menyampaikan
laporan yang tidak benar sehingga dapat merugikan negara dan atau
Provinsi, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah).
(4) Pemegang Kuasa Pertambangan yang melakukan usaha
pertambangan sebelum memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap
yang berhak atas tanah diancam dengan pidana kurungan 1 (situ)
tahun kurungan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah).
Pasal 52
pemegang hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya yang merintangi
atau mengganggu usaha pertambangan yang sah setelah pemegang kuasa
Pertambangan memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 34 diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp.5.000,000,- (lima juta rupiah).
Pasal 53
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) dan (2)
adalah kejahatan dan perbuatan lainnya adalah pelanggaran.
Pasal 54
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) dan (4)
kepada pemegang Kuasa Pertambangan dapat dikenakan pidana tambahan
berupa pencabutan hak atau perampasan baring-baring yang dipergunakan
dalam melakukan tindak pidana tersebut.
BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 55
Pada saat berlakunya Qanun ini, semua ketentuan yang ada sepanjang
tidak bertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tetap berlaku.
Hal-hal yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota namun belum dapat
dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota dapat dilimpahkan dengan Surat
Keputusan Bupati/Walikota kepada Gubernur untuk dilaksanakan oleh
Provinsi.
BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini, akan ditetapkan lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur sepanjang mengenai peraturan
pelaksanaannya dengan memperhatikan peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 57
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Disahkan di Banda Aceh
pada tanggal 14 Oktober 2002
7 Sya'ban 1423
GUBERNUR
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
ABDULLAH PUTEH
Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal 15 Oktober 2002
8 Sya'ban 1423
SEKRETARIAT DAERAH
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
THANTHAWI ISHAK
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2002
NOMOR 55 SERI E NOMOR 4
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN QANUN NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR 12 TAHUN 2002
TENTANG
PERTAMBAGAN UMUM, MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
A.
UMUM
Bahwa bahan galian sumber daya alam yang tak terbarukan, adalah
Kekayaan Bangsa Nasional Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa dikuasai oleh Negara, maka dalam pengusahan dan pemanfaatannya
wajib untuk memperhatikan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat saat
ini dan generasi yang akan datang dan untuk memanfaatkan sumber daya
alam tersebut, perlu dikelola oleh Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam secara efisien, transparan,
berwawasan lingkungan dan berkeadilan.
Bahwa perkembangan pengusahaan pertambangan yang telah
memasuki era Globalisasi, dimana persaingan bebas yang didasari oleh
kemajuan teknologi dan informasi, pertambangan sudah menjadi tuntutan
yang mendunia, dan untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum yang
memadai.
Di samping itu dalam rangka mendorong dan mengoptimalkan
pelaksanaan otonomi daerah melalui pemberdayaan daerah di bidang
pengelolaan bahan galian demi peningkatan kesejahteraan rakyat setempat,
meningkatkan peran swasta nasional dalam kegiatan usaha pertambangan,
memberdayakan usaha kecil dan koperasi dalam rangka pemerataan
kemakmuran dan kesempatan berusaha dan berupaya mengurangi dampak
negatif dari kegiatan usaha pertambangan, diperlukannya tatanan hukum
yang dapat melandasi kegiatan usaha pertambangan dalam iklim yang sehat
dan mampu meningkatkan daya saing usaha yang kecil dan koperasi,
sehingga dapat diperoleh efisiensi dan produktifitas yang lebih tinggi.
B. POKOK-POKOK PIKIRAN
1. Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, Bangsa
Indonesia memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengatur,
memelihara dan menggunakan kekayaan Nasional tersebut agar tercapai
masyarakat adil dan makmur.
2. Dalam rangka mendorong pelaksanaan Otonomi Khusus, maka
pelaksanaan pengusahaan bahan galian yang dikuasai oleh Negara
pengelolaannya juga dilaksanakan oleh pemerintah Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota tempat
terdapatnya bahan galian dimaksud. Dengan semangat Otonomi, maka
masyarakat setempat dapat merasakan manfaat antara, kegiatan usaha
pertambangan sehingga kemakmuran yang merata sampai ke pelosok
Negara akan tercapai.
3. Kewenangan Pemerintah pusat masih diperlukan dalam rangka
pengelolaan pertambangan umum ini, sesuai dengan Otonomi Khusus
yang ditegaskan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, meliputi
kebijakan umum dan kewenangan operasional pengusahaan bahan
galian diluar 12 Mil laut dari garis pantai serta kewenangan operasional
pengelolaan bahan galian secara eksklusif pada landas kontinen
Indonesia di luar daerah laut teritorial Nasional,
4. Bahwa usaha kecil cukup tangguh dalam menghadapi tekanan ekonomi
di masa krisis moneter dewasa ini, karena usaha dalam skala kecil
sangat efisien dalam melaksanakan kegiatannya, efek ganda dari
keberadaannya cukup besar terutama dalam penyediaan lapangan kerja
bagi rakyat banyak. Agar peran rakyat pada kegiatan pertambangan
dapat ditingkatkan dan dapat bersaing, maka usaha skala kecil serta
peranan rakyat setempat perlu didorong dan dibantu oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam maupun
oleh para pengusaha-pertambangan skala besar.
5. Qanun ini disusun berdasarkan asas-asas, antara lain : kepastian
hukum, manfaat dan konservasi bahan galian keseimbangan antara hak
dan kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan; dekonsentrasi,
kerakyatan dan swastanisasi; kesejahteraan sosial bagi masyarakat
setempat di sekitar Wilayah Izin Usaha pertambangan; dan Lingkungan.
C. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) :
a. Golongan Bahan galian strategis terdiri atas
− minyak bumi, bitumen cair, Lilin bumi, gas alam;
− bitumen padat, aspal;
− antrasit, batubara, batubara muda;
− uranium, radium, thorium dan bahan-bahan galian radio aktif
lainnya;
− Nikel, kobalt;
− timah.
b. Golongan Bahan galian vital terdiri atas:
− besi, mangan, molibden, krom, wolfram, vanadium, titan;
− bauksit, tembaga, timbal, seng;
− emas, platina, perak, air raksa, intan;
− arsen, antimon, bismut; yttrium, rhutenium, cerium, dan logamlogam langka lainnya;
− berillium, korundum, zirkon, kristal kwarsa;
− kriolit, fluourspar, barit;
− yodium, brom, khlor, belerang
c. Golongan Bahan galian yang tidak termasuk golongan a atau b
adalah
− nitrat-nitrat, phospat-phospat, garam batu (halite);
− asbes, talk, mika, grafit, magnesit;
− yarosit, leusit, tawas (alum), oker;
− batu permata, batu setengah permata;
− pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit;
− batu apung, tras, obsidian, perlit, tanah diatome, tanah serap
(fullers earth);
− marmer, batu tulis;
− batu kapur, dolomit, kalsit;
− granit, andesit, basal, trakhit, tanah liar, dan pasir sepanjang
tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan a maupun
golongan b dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi
pertambangan,
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan adalah kuasa
pertambangan yang diberikan oleh Gubernur sesuai kewenangannya
kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Badan lain atau
perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Surat
Keputusan Penugasan Pertambangan adalah kuasa pertambangan
yang diberikan oleh Gubernur sesuai kewenangannya kepada instansi
Pemerintah untuk melaksanakan usaha pertambangan.
Surat Keputusan Izin Pertambangan, adalah kuasa pertambangan
yang diberikan oleh Gubernur sesuai kewenangannya kepada rakyat
untuk melaksanakan usaha. Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kelompok masyarakat yang diprioritaskan adalah masyarakat desa
setempat.
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Konsultasi dengan Pemerintah Daerah dilakukan untuk memberikan
penjelasan dan memperoleh informasi mengenai rencana penawaran
wilayah-wilayah tertentu yang dianggap potensial mengandung
sumber daya minyak dan gas bumi menjadi wilayah Kerja,
Pelaksanaan konsultasi dengan Pemerintah Daerah dilakukan dengan
Gubernur yang memimpin penyelenggaraan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang Pemerintah Daerah
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari dilakukannya
konsolidasi pembebanan dan atau pengembalian biaya Eksplorasi dan
Eksploitasi dari suatu Wilayah Kerja yang lain.
Ketentuan ini juga untuk mencegah ketidakjelasan pembagian
penerimaan Pemerintah Pusat dengan masing-masing Pemerintah
Daerah yang terkait dengan Wilayah Kerja yang dimaksud.
Pasal 24
Persetujuan Menteri dalam ketentuan ini diperlukan mengingat
pengembangan lapangan yang pertama dalam suatu Wilayah Kerja
menentukan dikembalikan atau diteruskannya pengoperasian Wilayah
Kerja tersebut oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Persetujuan
untuk rencana pengembangan lapangan selanjutnya dalam Wilayah Kerja
yang dimaksud akan diberikan oleh Badan Pelaksana.
Yang dimaksud dengan konsultasi dengan Pemerintah Daerah dalam
ketentuan ini diperlukan agar rencana pengembangan lapangan yang
diusulkan dapat dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah Provinsi
terutama yang terkait dengan rencana tata ruang dan rencana
penerimaan daerah dari minyak dan gas bumi pada daerah tersebut
sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 25
Ayat (1)
Dalam perumusan kontrak kerja sama, Gubernur turut mengetahui isi
kontrak dan turut menandatangani dokumen kerjasama tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar