Selasa, 31 Desember 2019

Infestasi

https://storiespace.com/t1/?&geocode=id-id&hero=100&instsmall=1&bbb=1&cep=ZUVUHIGxgpOKPUQSNiBKEWGEZETMvlqS-ToUsv1v7GUH2hWzzDg1d9n2OdPVLfIeYma5Lzn4NZxxSWQ5a5ZVUPJWr91FkXxaINBAbIwMQYM3ZKKhHrc_mqttm1a1tc0-BGgN00LgoE_F1JymV7zUN6Rb2n-hxDvg73Pzr1w4od4ZJbT69FOvIa0UegcTXyLUsHZBcGHc9nAaKNCo1aUSl6D2xWMImM8O8hbwL8D0KKFuHihx3SpQAwvzoZZfyV6xhAREfWY4SPsIrsZimvIWfX6SA7gOZ2OuVvucJ0iB0y8KGQrPg_pd-n4e2Zeu9mdiiTyhoc4YvVoMzHsPAnf_b3IGlebZC7WlC9paW0uSltwcSxfYvBM2ExQvZpC3wLFtBMoBKDt1tBKG0kUhGphEN4bDtTVTDNmGYXuRV7sMQxKjzrKV-5G8OWewTsNR6lpU_HoQY_0q4haL2v4T69gcOA&lptoken=15947748828207101015&utm_content=4732772&utm_term=1765408&utm_source=propeller&utm_campaign=2912766&utm_medium=p&ref=p_prop_ia_pn81-id_adr&eid=235952214543609856

Senin, 08 Juli 2019

Qanun tambang

QANUN PROVINSI NANGGROE AC2H DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG PERTAMBANGAN UMUM, MINYAK BUMI DAN GAS ALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Menimbang :
a. bahwa Sumber Daya Alam adalah Anugerah Allah SWT yang harus dikelola secara efektif dan efisien sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat;
b. bahwa pengelolaan Pertambangan Umum, Minyak Bumi dan Gas Alam sebagai bagian dari pengelolaan Sumber Daya Alam, harus dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan negara dan daerah di mana kegiatan itu dilaksanakan;
c. bahwa undang-undang Nomor 18 tahun 2001, telah memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi daerah untuk menggali dan memberdayakan Sumber Daya Alam yang ada dia daerah;
d. bahwa untuk melaksanakan yang dimaksud tersebut pada huruf a, b, dan c, perlu ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

 Mengingat :
 1. Undang-undang Nomor 24 Tabun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Propinsi Aceh dan perubahan peraturan pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
 3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);
 4. Undang-undang nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1997 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
5. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan. Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839 );
7. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848 );
8. Undang-undang Nomor 18 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
9. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2001 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
11. Peraturan. Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor II Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4154);
12. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM MEMUTUSKAN : Menetapkan QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PERTAMBANGAN UMUM, MINYAK BUMI DAN GAS ALAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.
 2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
 3. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
 4. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta Perangkat Daerah Otonomi yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
5. Qanun adalah Peraturan Daerah sebagai Pelaksanaan Undang-undang di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus.
 6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka mengetahui potensi, keterdapatan, kualitas, kuantitas bahan galian, kegiatan pertambangan, pengolahan/pemumian, pengangkutan dan penjualan. 7. Bahan galian adalah unsur-unsur kimia, mineral bijih segala macam batuan, batubara, dan gambut yang merupakan endapan/suspensi alam.
8. Minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat termasuk aspal, ozokerit (lilin mineral) dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas alam.
9. Gas Alam adalah basil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak bumi dan gas alam, antara lain liquefied Natural Gas (LNG) yaitu gas bumi yang diubah menjadi cair untuk memudahkan pengangkutan.
10. Bahan Bakar minyak adalah bahan bakar yang berasal dan atau diolah dari minyak bumi.
11. Penyelidikan umum adalah Penyelidikan secara Geologi umum atau Geofisika, di daratan, perairan, dan dari udara, segala sesuatu untuk membuat peta Geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya.
12. Eksplorasi adalah penyelidikan untuk memperoleh informasi secara teliti dan seksama tentang kualitas dan kuantitas bahan galian serta keterdapatan dan sebarannya.
 13. Eksploitasi adalah tahapan usaha pertambangan untuk menghasilkan dan memanfaatkan bahan galian.
 14. Kontrak kerja sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk-bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan kerja sama eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan Daerah serta hasilnya dipergunakan sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat.
 15. Wilayah kerja adalah daerah tertentu untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi.
 16. Pengolahan/pemumian adalah tahapan usaha pertambangan untuk mempertinggi mutu bahan galian untuk memperoleh unsur yang tercapai pada bahan galian itu serta memanfaatkannya.
17. Pengangkutan adalah tahapan usaha pertambangan untuk memindahkan bahan galian dan hasil pengolahan/pemumian bahan galian dari daerah kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan tempat pengolahan/pemumian.
18. Penjualan adalah tahapan usaha pertambangan untuk menjual bahan galian dan hasil pengolahan/pemumian bahan galian.
19. Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan.
20. Pertambangan Rakyat adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
21. Waste adalah tanah/batuan yang berada di atas (overburden), di antara (interburden) atau di sekeliling bahan galian yang ikut tergali tetapi tidak dimanfaatkan.
 22. Jasa pertambangan adalah kegiatan jasa untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan kuasa pertambangan dan kegiatan penunjangnya.
 23. Izin adalah Kewenangan yang diberikan kepada badan usaha untuk melaksanakan kegiatan tertentu di bidang minyak bumi dan gas alam.
24. Persetujuan adalah pemyataan setuju yang diberikan secara tertulis kepada badan usaha untuk melaksanakan kegiatan tertentu di bidang minyak bumi dan gas alam.
25. Lifting adalah bagian dari produksi minyak bumi dan gas alam yang dijual.
26. Rekomendasi adalah keterangan yang diberikan kepada badan usaha sebagai syarat untuk mendapatkan izin.
27. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas alam, serta Pertambangan Umum.
28. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang menjalankan jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus, dan yang didirikan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bekerja, berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia,
29. Bentuk Usaha Tetap adalah Badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan melakukan kegiatan di wilayah Republik Indonesia.
30. Wilayah kuasa pertambangan atau wilayah kerja kontraktor adalah daerah tertentu dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk melakukan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi minyak bumi dan gas alam.
 BAB II PENGUASAAN BAHAN GALIAN

 Pasal 2 1. Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam baik di daratan maupun di perairan, yang merupakan kekayaan alam adalah milik Nasional Bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2. Bahan-bahan galian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas tiga golongan :
 a. golongan bahan galian strategis b.
 b, golongan bahan galian vital ; dan
 c. golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan a dan b. 3. Penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

BAB III PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN UMUM

Pasal 3 (1) Setiap usaha pertambangan umum baru dapat dilaksanakan apabila telah mendapat Kuasa Pertambangan (KP) Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) dan Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR) dari Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan Kewenangannya. (2) Pemberian Kuasa Pertambangan bahan galian strategis (non migas) dan vital oleh Bupati/Walikota diberikan setelah mendapat izin prinsip atau persetujuan dari Gubernur. (3) Pemberian Kuasa Pertambangan bahan galian non strategis dan non vital (golongan galian c) untuk luas wilayah > 10 (sepuluh ) hektare atau menggunakan peralatan berat dan atau bahan peledak hanya dapat diberikan oleh Bupati/Walikota setelah mendapat izin prinsip atau persetujuan dari Gubernur. (4) Usaha Pertambangan dalam rangka pemberian kuasa pertambangan dapat diberikan kepada :
 a. perusahaan Negara
b. perusahaan Daerah
c. perusahaan Swasta Nasional
 d. koperasi ;
e. perorangan
f. perusahaan dengan modal bersama antara negara /perusahaan di satu pihak dengan Provinsi dan atau Kabupaten atau Perusahaan Daerah di pihak lain ; dan g. perusahaan dengan modal bersama antara Negara/Perusahaan Negara dan atau Daerah/Perusahaan Daerah di satu pihak dengan Badan dan atau Perseorangan Swasta di pihak lain. (5) Usaha Pertambangan Umum dalam rangka Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia yang bergerak di bidang Pertambangan Umum pengaturan lebih lanjut ditetapkan dalam Keputusan Gubernur. (6) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Bahan Galian Radio Aktif hanya diusahakan oleh instansi yang berwenang. Pasal 4 (1) Kuasa Pertambangan (KP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) diberikan dalam bentuk : a. surat Keputusan pemberian kuasa pertambangan b. surat keputusan penugasan pertambangan ; dan c. surat keputusan izin pertambangan rakyat. (2) Kuasa Pertambangan terdiri atas : a. kuasa pertambangan penyelidikan umum b. kuasa pertambangan eksplorasi c. kuasa pertambangan eksploitasi d. kuasa pertambangan pengolahan dan pemumian e. kuasa pertambangan pengangkutan ; dan (3) kuasa pertambangan
penjualan.

 BAB IV TATA CARA MEMPEROLEH KUASA PERTAMBANGAN

 Pasal 5 (1) Permohonan Kuasa pertambangan diajukan secara tertulis kepada Gubernur dengan melampirkan persyaratan yang diperlukan. (2) Bentuk dan syarat–syarat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Gubernur. (3) Apabila dalam satu wilayah terdapat lebih dari satu pemohon, maka prioritas pertama diberikan, ditentukan oleh Gubernur berdasarkan urutan dan kelengkapan pengajuan permohonan.

BAB V LUAS WILAYAH

Pasal 6 (1) Luas wilayah Nan6 dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa Pertambangan penyelidikan Umum maksimal 25.000 hektar. (2) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa pertambangan eksplorasi maksimal 10.000 hektar. (3) Luas wilayah yang dapat diberikan untuk satu wilayah Kuasa Pertambangan eksploitasi maksimal 5.000 hektar. Pasal 7 (1) Jumlah wilayah Kuasa Pertambangan yang dapat diberikan kepada perusahaan atau perorangan maksimum 5 (lima) wilayah. (2) Untuk mendapatkan luas wilayah Kuasa Pertambangan atau jumlah wilayah Kuasa Pertambangan melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam. pasal 6 dan pasal 7 ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Gubernur.

 BAB VI MASIH BERLAKUNYA KUASA PERTAMBANGAN

Pasal 8
Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum diberikan oleh Gubernur untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun lagi apabila diperlukan. Pasal 9 (1) Kuasa Pertambangan Eksplorasi diberikan oleh Gubernur untuk jangka waktu selama-lamanya 3 (tiga) tahun. (2) Gubernur dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali 1 (satu) tahun. (3) Apabila pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi menyatakan akan meningkatkan usaha pertambangan ke tahap eksploitasi Gubernur dapat memberikan perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksplorasi selama-lamanya 3 (tiga) tahun untuk pembangunan fasilitas Eksploitasi. Pasal 10 (1) Kuasa Pertambangan Eksploitasi diberikan oleh Gubernur untuk jangka waktu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun. (2) Gubernur dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali 5 (lima) tahun. Pasal 11 (1) Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemumian diberikan oleh Gubernur untuk jangka waktu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun. (2) Gubernur dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk jangka waktu 2 (dua) kali 5 (lima ) tahun. Pasal 12 (1) Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan diberikan oleh Gubernur untuk jangka waktu selama- lamanya 10 (sepuluh) tahun. (2) Gubernur dapat memperpanjang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk jangka waktu setiap kali perpanjangan 5 (lima) tahun. Pasal 13 Permohonan perpanjangan Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9,10,11,12 diajukan pemohon secara tertulis kepada Gubernur sebelum berakhir masa berlakunya.

 BAB VII PENUGASAN PERTAMBANGAN

Pasal 14 (1) Kuasa Pertambangan penugasan dapat diberikan kepada instansi Pemerintah atau Perguruan Tinggi dalam rangka penelitian bahan galian. (2) Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan keputusan Gubernur.

 BAB VIII PERTAMBANGAN RAKYAT

 Pasal 15 (1) Bupati/Walikota sebelum memberikan izin Pertambangan Rakyat terlebih dahulu Gubernur menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Gubernur atau Dinas terkait di Provinsi, (2) Usaha Pertambangan Rakyat hanya diberikan kepada perorangan dan atau kelompok masyarakat. (3) Pengaturan lebih lanjut tentang wilayah kerja Pertambangan Rakyat ditetapkan berdasarkan keputusan Bupati/Walikota dengan mempedomani peta "Zonasi Pertambangan" Provinsi.

 BAB IX HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG KUASA PERTAMBANGAN

Pasal 16
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan berhak untuk melakukan kegiatan di dalam wilayah kekuasa pertambangannya sesuai tahapan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1).
(2) Pemegang Kuasa Pertambangan penyelidikan umum berhak untuk meningkatkan usahanya ketahap eksplorasi dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan,
(3) Pemegang Kuasa Pertambangan eksplorasi berhak untuk meningkatkan usahanya ketahap eksploitasi dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan.
(4) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau kuasa Pertambangan Eksploitasi berhak memiliki bahan galian yang tergali setelah memenuhi kewajiban membayar iuran tetap dan iuran eksplorasi/eksploitasi,

Pasal 17
(1) Pemegang Kuasa pertambangan diwajibkan menyampaikan laporan mengenai hasil penyelidikan dan atau/perkembangan kegiatan yang telah dilakukan, kepada Gubernur secara bertahap setiap 3 (tiga) bulan sekali.
(2) Di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1), Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan menyampaikan laporan akhir kegiatan/tahunan kepada Gubernur mengenai perkembangan pekerjaan yang telah dilakukan.
(3) Pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan membayar iuran tetap setiap tahun sesuai luas dan tahapan kegiatan.
(4) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar iuran eksplorasi bahan galianitasi tergali sesuai dengan tarif berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(5) Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar iuran eksploitasi/produksi atas hasil produksi yang diperoleh sesuai dengan tarif berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai besamya iuran dan tata cara pembayaran iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi/produksi ditetapkan dengan keputusan Gubernur.

 Pasal 18
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib dan bertanggung jawab atas keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sesuai dengan Perundangundangan yang berlaku.
(2) pemegang Kuasa Pertambangan wajib melakukan pengelolaan dan memelihara kelestarian lingkungan sesuai ketentuan Perundangundangan yang berlaku di bidang Lingkungan hidup.

BAB X BERAKHIMYA KUASA PERTAMBANGAN

 Pasal 19 
(1) Apabila setelah berakhimya jangka waktu pemberian Kuasa Pertambangan tidak diajukan peningkatan atau perpanjangan oleh pemegang Kuasa Pertambangan, pemegang Kuasa Pertambangan, dinyatakan berakhir dan segala usaha pertambangan harus dihentikan.
 (2) pemegang Kuasa Pertambangan dapat mengembalikan Kuasa Pertambangan kepada Gubernur dengan mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan alasan-alasan mengenai pengembalian tersebut.
(3) Pengembalian Kuasa Pertambangan baru sah setelah mendapat persetujuan dari Gubernur.
(4) Kuasa Pertambangan dapat dibatalkan oleh Gubernur walaupun masa berlakunya belum berakhir apabila pemegang Kuasa Pertambangan tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban dalam keputusan Kuasa Pertambangan maupun berdasarkan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku.
(5) Sebagai akibat berakhimya Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) pemegang Kuasa Pertambangan tetap harus menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang belum dipenuhi selama berlakunya Kuasa Pertambangan.

 BAB XI PEMINDAHAN KUASA PERTAMBANGAN

Pasal 20
(1) Dalam rangka meningkatkan usaha maka Kuasa Pertambangan dapat dipindahkan ke badan atas persetujuan Gubernur.
(2) Tata cara dan persyaratan pemindahan Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

BAB XII KETENTUAN KERJASAMA USAHA

 Pasal 21
(1) Kuasa Pertambangan tidak dapat dipergunakan sebagai unsur permodalan dengan pihak ketiga. (2) Pemegang Kuasa Pertambangan dapat bekerjasama dengan pihak lain setelah mendapat persetujuan dari Gubernur.
 (3) Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur,

BAB XIII PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI

Pasal 22
(1) Kegiatan Pengusahaan Minyak Bumi dan Gas Alam yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas :
a. persetujuan penggunaan wilayah Kuasa Pertambangan atau wilayah Kerja kontraktor untuk kegiatan lain di luar kegiatan minyak bumi dan gas alam ;
b. rekomendasi prosedur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan kegiatan minyak bumi dan gas alam ;
 c. izin pendirian dan penggunaan gudang bahan peledak di daerah operasi daratan dan di daerah operasi 12 (dua belas) mil laut ; d. izin pembukaan Kantor perwakilan perusahaan di sub sektor minyak bumi dan gas alam;
e. rekomendasi lokasi pendirian kilang f. izin pendirian depot lokal ;
 g. izin pendirian stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU)
h. izin pemasaran jenis-jenis bahan bakar khusus (BBK) untuk mesin 2 (dua) langkah ;
 i. izin pengumpulan dan penyaluran pelumas bekas ; dan
 j. persetujuan surat keterangan terdaftar perusahaan jasa penunjang, kecuali yang bergerak di bidang fabrikasi, konstruksi, manufaktur, konsultan, dan teknologi tinggi. (2) Pemberian izin pada kegiatan usaha hulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, d dan pada kegiatan hilir huruf f, g, h, i diberikan oleh Bupati/Walikota setelah mendapat persetujuan dari Gubernur. (3) Pengusahaan minyak bumi dan gas alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) huruf a sampai huruf j dapat dilaksanakan oleh :
 a. Badan Usaha Milik Negara ;
 b. Badan Usaha Milik Daerah ;
 c. Koperasi ; dan d. Badan Usaha Swasta.

Pasal 23
(1) Wilayah kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Gubernur.
(2) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja
(3) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk Badan Hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja Pasal 24 Rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja harus mendapatkan persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan Badan Pelaksana dan setelah berkonsultasi dengan Gubernur.
  Pasal 25
(1) Perumusan dan pelaksanaan kontrak kerjasama serta perpanjangannya, dilaksanakan oleh Pemerintah bersama dengan Gubernur.
(2) Dalam membahas dan menentukan Rencana Tahunan serta penentuan Budget (Work Program dan Budget), perlu keikutsertaan Pihak Pemerintah Provinsi.
(3) Kontrak Production Sharing (KPS) berkewajiban menyampaikan laporan produksi dan keuangan setiap triwulan serta laporan tahunan kepada Gubernur.

Pasal 26 
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, 24 dan 25, Gubernur membentuk Tim Pertimbangan Teknis Daerah yang terdiri dari unsur-unsur terkait.

  Pasal 27
Tugas Tim Pertimbangan Teknis Daerah antara lain
 a. membantu/bekerja sama dengan Badan Pelaksana dan Badan Pengatur dalam rangka pelaksanaan kegiatan hulu dan hilir minyak bumi dan gas alam.
b. memberikan pertimbangkan dan masukan kepada Gubernur, dalam rangka tugas Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 23, 24 dan. 25, melakukan pemantauan ketersediaan dan distribusi bahan bakar minyak bumi dan gas alam.
 c. melakukan pemantauan pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar minyak bumi dan gas alam,
d. melakukan pemantauan penerimaan perimbangan dana minyak bumi dan gas alam berdasarkan lifting yang ditetapkan Pemerintah; dan
e. melakukan pemantauan dan evaluasi dari kegiatan hulu dan hilir.


BAB XIV KEMITRAUSAHAAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Pasal 28
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KY,), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) serta Kontrak Production Sharing (KPS) diwajibkan menjalin hubungan kemitraan dalam menjalankan usahanya guna menghindari munculnya anak perusahaan dari usaha yang dijalankan tersebut.
(2) Pemegang Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) serta Kontrak Production Sharing (KPS) berkewajiban untuk mendanai Program Pengembangan Masyarakat (Community Development-CD) sebesar 1% dari total biaya yang dikeluarkan perusahaan. Dana Community Development bukan sebagai unsur ongkos, tetapi bagian dari keuntungan perusahaan.
(3) Wilayah Community Development meliputi lingkungan dan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kegiatan perusahaan (30%), kabupaten/kota (30%) dan Provinsi (40%).
(4) Program dan kegiatan Community Development difokuskan pada upaya pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan skala prioritas masyarakat dan wilayah kelompok sasaran. (5) Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan diatur secara sinergi antara perusahaan dengan pemerintah setempat. Pemerintah setempat adalah
 a. Gampong, Mukim dan Kecamatan untuk wilayah yang bersinggungan langsung ;
 b. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota yang bersangkutan ; dan
c. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

Pasal 29 
(1) Bentuk kemitraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 antara lain :
a. menyerahkan kepada kelompok masyarakat setempat dan atau Koperasi sebagian lahan yang mengandung bahan galian berikut data potensinya
 b. membeli hasil produksi usaha pertambangan yang dilakukan rakyat
 c. membina atau sebagai bapak angkat usaha pertambangan rakyat ;
d. memberikan kesempatan kepada pengusaha kecil atau menengah setempat untuk melakukan kegiatan penunjang ; dan
e. memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat ikut serta dalam pelaksanaan reklamasi.
(2) Pemegang kuasa pertambangan wajib memprioritaskan tenaga kerja setempat dalam kegiatan usahanya.
(3) Pemegang kuasa pertambangan yang telah mencapai kegiatan eksploitasi/produksi wajib melaksanakan pengembangan wilayah dan masyarakat meliputi peningkatan sumber daya manusia, kesehatan, sarana dan prasarana serta pertumbuhan ekonomi.
(4) Pemegang kuasa pertambangan yang telah mencapai eksploitasi/produksi wajib membina, menumbuh kembangkan dan menjadi bapak angkat usaha kecil dan menengah setempat.
 (5) Perencanaan dan pelaksanaan pengembangan wilayah dan masyarakat dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi dan masyarakat setempat.

  Pasal 30 
(1) Gubernur bersama-sama dengan Lembaga Masyarakat setempat melakukan pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pengembangan wilayah, kemitrausahaan dan pengembangan masyarakat.
 (2) Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Gubernur.

 BAB XV PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 31
(1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib melaksanakan prinsip-prinsip konservasi bahan galian dan pertambangan.
(2) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta reklamasi lahan bekas tambang yang dilaksanakan sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang telah disetujui.
 (3) Peruntukan lahan bekas tambang dan tingkat produktivitas lahan setelah reklamasi ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan kewenangannya dengan mengikutsertakan masyarakat dan pemilik tanah/lahan.
(4) Peruntukkan lahan bekas tambang dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah.
 Pasal 32
(1) Sebelum melakukan kegiatan penambangan atau operasi produksi, pemegang kuasa pertambangan wajib menempatkan jaminan reklamasi.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penempatan, penyetoran dan besarnya jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
 Pasal 33
(1) Gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh pemegang kuasa pertambangan.
(2) pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan selama usaha pertambangan berlangsung dan pada pasca tambang.

BAB XVI HUBUNGAN PEMEGANG USAHA PERTAMBANGAN DENGAN HAK ATAS TANAH

(1) Pemegang Kuasa Pertambangan wajib menggantikan kerugian kepada yang berhak, atas kerusakan sesuatu yang berada di atas tanah, di dalam atau di luar wilayah kuasa Pertambangannya akibat dari Usahanya baik perbuatan itu dilakukan dengan sengaja atau tidak:
(2) Besarnya ganti rugi hak atas tanah dapat dilakukan sekaligus atau selama hak tanah tersebut tidak dapat digunakan yang ditentukan bersama-sama antara pemegang kuasa Pertambangan dengan yang berhak.
 Pasal 35
(1) pemegang Kuasa Pertambangan tahap eksploitasi selain diwajibkan mengganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1) juga diwajibkan menggantikan lahan yang digunakan dalam kegiatannya. (2) Kerugian disebabkan oleh usaha dari dua pemegang Kuasa Pertambangan atau lebih dibebankan kepada mereka secara bersama.

  Pasal 36
(1) Apabila telah diperoleh kuasa Pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah, maka pemegang hak atas tanah diwajibkan memperbolehkan kegiatan usaha pertambangan pada tanah yang bersangkutan dengan ketentuan diberi ganti rugi terlebih dahulu atas dasar musyawarah dan mufakat. (2) Segala biaya yang berhubungan dengan proses ganti rugi dibebankan kepada pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan.

Pasal 37
(1) Apabila para pihak yang bersangkutan tidak mencapai kata sepakat tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 dan pasal 35 maka penentuannya diserahkan kepada Gubernur setempat.
(2) Apabila para pihak yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan setempat. Pasal 38 Apabila telah diberikan Izin Kuasa Pertambangan pada sebidang tanah yang di atasnya tidak terdapat hak atas tanah, maka tanah tersebut tidak dapat diberi hak atas tanah lain kecuali dengan persetujuan Gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 39 
Tata cara pelaksanaan dan penetapan ganti rugi atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 34, 35, 36 dan 37 dilakukan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku,

BAB XVII PENERIMAAN KEUANGAN

 Pasal 40
(1) pemegang Kuasa pertambangan wajib memenuhi kewajiban berikut
a. iuran tetap untuk wilayah kuasa pertambangan ;
 b. iuran produksi (royalty) untuk bahan galian yang dijual dan atau dimanfaatkan ;
c. pajak penghasilan badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang kuasa pertambangan ;
d. kewajiban memotong pajak penghasilan atas pembayaran dividen, bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian utang, sewa, royalty, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan atas jasa teknik dan jasa manajemen serta jasa lainnya :
 e. pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk. 1vilayah izin usaha pertambangan dan penggunaan bumi dan bangunan dimana pemegang kuasa pertambangan membangun fasilitas operasi penambangan ; dan
f. bagian penerimaan perimbangan minyak bumi dan gas alam.

 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur. (3) Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP) yang berasal dari kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi terdiri utas: a. dana perimbangan b. iuran tetap c. iuran eksplorasi dan eksploitasi ; dan d. bonus.
 4. Dalam rangka optimalisasi penerimaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) terlebih dahulu perlu dilakukan audit keuangan badan usaha atau bentuk usaha tetap oleh auditor independen.

Pasal 41
Pemegang kuasa pertambangan tidak diwajibkan membayar Pajak Daerah dan Iuran Produksi akibat ikut tergalinya waste.

BAB XVIII KEADAAN MEMAKSA

 Pasal 42
(1) Apabila terdapat keadaan memaksa yang tidak dapat diperkirakan terlebih dahulu (keadaan memaksa), sehingga pekerjaan dalam suatu wilayah Izin Usaha Pertambangan terpaksa dihentikan seluruhnya atau sebagian, maka Gubernur atau dapat menentukan tenggang waktu/moratorium yang diperhitungkan dalam jangka wakt
(2) Dalam tenggang waktu/moratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak dan kewajiban pemegang kuasa pertambangan tidak berlaku.
(3) Gubernur mengeluarkan keputusan mengenai tenggang waktu/moratorium tersebut, mengenai keadaan memaksa di daerah dimana wilayah kuasa pertambangan tersebut terletak, untuk dapat atau tidaknya melakukan usaha pertambangan.
(4) Gubernur harus mengeluarkan keputusan diterima atau ditolaknya permintaan tenggang waktu/moratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah diajukannya permintaan tersebut.

Pasal 43

(1) Pemegang kuasa pertambangan dapat menunda kegiatan usahanya dengan persetujuan Gubernur sebagai akibat dari suatu keadaan yang menghalangi kegiatan usahanya.
(2) Setiap penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi pelaksanaan hak dan kewajiban pemegang kuasa Pertambangan.

BAB XIX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 44
1) Dalam rangka pembinaan, pemerintah turut memberi pedoman, bimbingan, arahan dan supervisi penyelenggaraan usaha pertambangan di Provinsi.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan usaha pertambangan di Kabupaten/Kota, Gubernur menyiapkan dan memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparat Kabupaten/Kota.

Pasal 45
Pembinaan Usaha Pertambangan Umum juga dilakukan dengan menyelenggarakan bimbingan, penyuluhan dan pelatihan kepada pemegang kuasa Pertambangan, Pertambangan Rakyat dan kelompok penambang lainnya.

Pasal 46
(1) Pengawasan dan pengendalian usaha pertambangan umum dilaksanakan oleh Gubernur, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat setempat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 47
Pelaksanaan Pengawasan Usaha Pertambangan Umum dilakukan pada semua tahapan usaha pertambangan sampai dengan pasca tambang mencakup aspek keselamatan dan kesehatan kerja tambang, lingkungan hidup, konservasi, produksi, pemasaran, keuangan, ketenagakerjaan, pengelolaan data, pelaksanaan penggunaan produksi dalam negeri, penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi, serta penerapan standar pertambangan umum.

 Pasal 48
Pelaksanaan pengawasan terhadap aspek keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan serta lingkungan hidup sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 46 dilakukan oleh Pelaksana Inspeksi Tambang (PIT).

 BAB XX PENYEELESAIAN SENGKETA

Pasal 49 
(1) Bila dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan terjadi sengketa antara pihak, ma.1ca para pihak yang berselisih dapat menyelesaikan dengan cara melalui badan arbitrasi.
(2) Dalam hal penyelesaian masalah melalui konsilidasi tidak tercapai maka penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum yang berlaku.

BAB XXI PENYIDIKAN

 Pasal 50 
(1) Pejabat Pegawai Negeri tertentu dilingkungan Pemerintah Provinsi diberi wewenang sebagai penyidik untuk membantu penyelidikan tindak pidana di bidang pengusahaan pertambangan.
 (2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan mulai penyidikan dan menyampaikan basil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kaftan Undang-undang Hukum Acara Pidana,

BAB XXII KETENTUAN PIDANA

 Pasal 51.
(1) Barang siapa degan sengaja melakukan kegiatan pertambangan tanpa mempunyai kuasa pertambangan tahap eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) dan pasal 13 ayat (1) melakukan penambangan sehingga menimbulkan kerugian Negara dan atau Provinsi serta kerusakan lingkungan diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku di bidang Lingkungan Hidup.
 (2) Barang siapa dengan sengaja melakukan kegiatan eksplorasi tanpa mempunyai kuasa pertambangan eksplorasi, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemegang Kuasa pertambangan yang dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar sehingga dapat merugikan negara dan atau Provinsi, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
(4) Pemegang Kuasa Pertambangan yang melakukan usaha pertambangan sebelum memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap yang berhak atas tanah diancam dengan pidana kurungan 1 (situ) tahun kurungan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Pasal 52
pemegang hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya yang merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah setelah pemegang kuasa Pertambangan memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.5.000,000,- (lima juta rupiah).

 Pasal 53
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) dan (2) adalah kejahatan dan perbuatan lainnya adalah pelanggaran.

 Pasal 54
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) dan (4) kepada pemegang Kuasa Pertambangan dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak atau perampasan baring-baring yang dipergunakan dalam melakukan tindak pidana tersebut.

BAB XXIII KETENTUAN PERALIHAN

 Pasal 55
Pada saat berlakunya Qanun ini, semua ketentuan yang ada sepanjang tidak bertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tetap berlaku. Hal-hal yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota namun belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota dapat dilimpahkan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota kepada Gubernur untuk dilaksanakan oleh Provinsi.

BAB XXIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 56
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini, akan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur sepanjang mengenai peraturan pelaksanaannya dengan memperhatikan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 57
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Disahkan di Banda Aceh pada tanggal 14 Oktober 2002 7 Sya'ban 1423

 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM ABDULLAH PUTEH Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Oktober 2002 8 Sya'ban 1423 SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM THANTHAWI ISHAK LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2002 NOMOR 55 SERI E NOMOR 4 PENJELASAN ATAS RANCANGAN QANUN NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG PERTAMBAGAN UMUM, MINYAK BUMI DAN GAS ALAM A.

UMUM Bahwa bahan galian sumber daya alam yang tak terbarukan, adalah Kekayaan Bangsa Nasional Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dikuasai oleh Negara, maka dalam pengusahan dan pemanfaatannya wajib untuk memperhatikan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat saat ini dan generasi yang akan datang dan untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut, perlu dikelola oleh Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam secara efisien, transparan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan. Bahwa perkembangan pengusahaan pertambangan yang telah memasuki era Globalisasi, dimana persaingan bebas yang didasari oleh kemajuan teknologi dan informasi, pertambangan sudah menjadi tuntutan yang mendunia, dan untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum yang memadai. Di samping itu dalam rangka mendorong dan mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah melalui pemberdayaan daerah di bidang pengelolaan bahan galian demi peningkatan kesejahteraan rakyat setempat, meningkatkan peran swasta nasional dalam kegiatan usaha pertambangan, memberdayakan usaha kecil dan koperasi dalam rangka pemerataan kemakmuran dan kesempatan berusaha dan berupaya mengurangi dampak negatif dari kegiatan usaha pertambangan, diperlukannya tatanan hukum yang dapat melandasi kegiatan usaha pertambangan dalam iklim yang sehat dan mampu meningkatkan daya saing usaha yang kecil dan koperasi, sehingga dapat diperoleh efisiensi dan produktifitas yang lebih tinggi.

 B. POKOK-POKOK PIKIRAN
1. Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, Bangsa Indonesia memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengatur, memelihara dan menggunakan kekayaan Nasional tersebut agar tercapai masyarakat adil dan makmur.
2. Dalam rangka mendorong pelaksanaan Otonomi Khusus, maka pelaksanaan pengusahaan bahan galian yang dikuasai oleh Negara pengelolaannya juga dilaksanakan oleh pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota tempat terdapatnya bahan galian dimaksud. Dengan semangat Otonomi, maka masyarakat setempat dapat merasakan manfaat antara, kegiatan usaha pertambangan sehingga kemakmuran yang merata sampai ke pelosok Negara akan tercapai.
3. Kewenangan Pemerintah pusat masih diperlukan dalam rangka pengelolaan pertambangan umum ini, sesuai dengan Otonomi Khusus yang ditegaskan oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, meliputi kebijakan umum dan kewenangan operasional pengusahaan bahan galian diluar 12 Mil laut dari garis pantai serta kewenangan operasional pengelolaan bahan galian secara eksklusif pada landas kontinen Indonesia di luar daerah laut teritorial Nasional,
 4. Bahwa usaha kecil cukup tangguh dalam menghadapi tekanan ekonomi di masa krisis moneter dewasa ini, karena usaha dalam skala kecil sangat efisien dalam melaksanakan kegiatannya, efek ganda dari keberadaannya cukup besar terutama dalam penyediaan lapangan kerja bagi rakyat banyak. Agar peran rakyat pada kegiatan pertambangan dapat ditingkatkan dan dapat bersaing, maka usaha skala kecil serta peranan rakyat setempat perlu didorong dan dibantu oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam maupun oleh para pengusaha-pertambangan skala besar.
5. Qanun ini disusun berdasarkan asas-asas, antara lain : kepastian hukum, manfaat dan konservasi bahan galian keseimbangan antara hak dan kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan; dekonsentrasi, kerakyatan dan swastanisasi; kesejahteraan sosial bagi masyarakat setempat di sekitar Wilayah Izin Usaha pertambangan; dan Lingkungan.

C. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

 Pasal 1 Cukup Jelas Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) :
 a. Golongan Bahan galian strategis terdiri atas − minyak bumi, bitumen cair, Lilin bumi, gas alam; − bitumen padat, aspal; − antrasit, batubara, batubara muda; − uranium, radium, thorium dan bahan-bahan galian radio aktif lainnya; − Nikel, kobalt; − timah.
 b. Golongan Bahan galian vital terdiri atas: − besi, mangan, molibden, krom, wolfram, vanadium, titan; − bauksit, tembaga, timbal, seng; − emas, platina, perak, air raksa, intan; − arsen, antimon, bismut; yttrium, rhutenium, cerium, dan logamlogam langka lainnya; − berillium, korundum, zirkon, kristal kwarsa; − kriolit, fluourspar, barit; − yodium, brom, khlor, belerang
c. Golongan Bahan galian yang tidak termasuk golongan a atau b adalah − nitrat-nitrat, phospat-phospat, garam batu (halite); − asbes, talk, mika, grafit, magnesit; − yarosit, leusit, tawas (alum), oker; − batu permata, batu setengah permata; − pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit; − batu apung, tras, obsidian, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth); − marmer, batu tulis; − batu kapur, dolomit, kalsit; − granit, andesit, basal, trakhit, tanah liar, dan pasir sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan a maupun golongan b dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan,
Pasal 3 Cukup Jelas Pasal 4 Ayat (1) Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan adalah kuasa pertambangan yang diberikan oleh Gubernur sesuai kewenangannya kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Badan lain atau perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan adalah kuasa pertambangan yang diberikan oleh Gubernur sesuai kewenangannya kepada instansi Pemerintah untuk melaksanakan usaha pertambangan. Surat Keputusan Izin Pertambangan, adalah kuasa pertambangan yang diberikan oleh Gubernur sesuai kewenangannya kepada rakyat untuk melaksanakan usaha. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Cukup Jelas Pasal 6 Cukup Jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup Jelas Pasal 9 Cukup Jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup Jelas Pasal 12 Cukup Jelas Pasal 13 Cukup Jelas Pasal 14 Cukup Jelas Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kelompok masyarakat yang diprioritaskan adalah masyarakat desa setempat. Pasal 16 Cukup Jelas Pasal 17 Cukup Jelas Pasal 18 Cukup Jelas Pasal 19 Cukup Jelas Pasal 20 Cukup Jelas Pasal 21 Cukup Jelas Pasal 22 Cukup Jelas Pasal 23 Ayat (1) Konsultasi dengan Pemerintah Daerah dilakukan untuk memberikan penjelasan dan memperoleh informasi mengenai rencana penawaran wilayah-wilayah tertentu yang dianggap potensial mengandung sumber daya minyak dan gas bumi menjadi wilayah Kerja, Pelaksanaan konsultasi dengan Pemerintah Daerah dilakukan dengan Gubernur yang memimpin penyelenggaraan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang Pemerintah Daerah Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari dilakukannya konsolidasi pembebanan dan atau pengembalian biaya Eksplorasi dan Eksploitasi dari suatu Wilayah Kerja yang lain. Ketentuan ini juga untuk mencegah ketidakjelasan pembagian penerimaan Pemerintah Pusat dengan masing-masing Pemerintah Daerah yang terkait dengan Wilayah Kerja yang dimaksud. Pasal 24 Persetujuan Menteri dalam ketentuan ini diperlukan mengingat pengembangan lapangan yang pertama dalam suatu Wilayah Kerja menentukan dikembalikan atau diteruskannya pengoperasian Wilayah Kerja tersebut oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Persetujuan untuk rencana pengembangan lapangan selanjutnya dalam Wilayah Kerja yang dimaksud akan diberikan oleh Badan Pelaksana. Yang dimaksud dengan konsultasi dengan Pemerintah Daerah dalam ketentuan ini diperlukan agar rencana pengembangan lapangan yang diusulkan dapat dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah Provinsi terutama yang terkait dengan rencana tata ruang dan rencana penerimaan daerah dari minyak dan gas bumi pada daerah tersebut sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pasal 25 Ayat (1) Dalam perumusan kontrak kerja sama, Gubernur turut mengetahui isi kontrak dan turut menandatangani dokumen kerjasama tersebut.

Sabtu, 11 Mei 2019

Batu Galena

https://setangigi.blogspot.com/2012/08/pengalaman-membangun-smelter-galena.html
pengolahan

APRA
asosiasi Tambang Rayat Aceh
081360809273

bangi anda yang berminat membuka tambang galena di Aceh kubungi kami 
APRA attn : Noval fuadi

Selasa, 16 April 2019

scala mohs

From Wikipedia, the free encyclopedia.
Jump to navigationJump to search
The Mohs scale is an empirical criterion for evaluating the hardness of materials. It takes its name from the German mineralogist Friedrich Mohs , who conceived it in 1812 . It takes as a reference the hardness of ten minerals numbered progressively from 1 to 10, such that each is able to scratch what precedes it and is scratched by what follows it. To determine the hardness of a mineral one does nothing other than prove which mineral of the scale it scratches and from which it is scratched.
The first mineral of the series is the talc , the last the diamond . The Mohs scale provides a purely indicative value of hardness, as the actual difference in hardness between two successive minerals also varies considerably. For example corundum (n. 9 of this scale) is about six times harder than topaz (n. 8), while diamond (n. 10) appears to be about 140 times harder than corundum, as has been pointed out from the experimental tests of the mineralogist August Rosiwal .
There is also an absolute scale of hardness, the Rosiwal scale , which provides the real value of hardness, obtained with laboratory tests using a sclerometer . In this scale it is attributed to corundum (a mineral that includes many precious stones, including ruby and sapphire ) a reference hardness of 1,000.

The Mohs scale in practice edit edit wikitesto ]

Semilogarithmic diagram of the Mohs Scale against absolute hardness
GuyHardness of MohsMineralChemical formulaAbsolute hardness[1]Image
Teneri [T 1]1TalcMg 3 Si 4 O 10 (OH) 21Talc block.jpg
2PlasterCaSO 4 · 2H 2 O3Gypse Arignac.jpg
Semi-hard[T 2]3CalciteCaCO 39CalcitePau.jpg
4FluoriteCaF 221Fluorite with Iron Pyrite.jpg
5ApatiteCa 5 (PO 4 ) 3 (OH - , Cl - , F- )48Apatite Canada.jpg
Hard [T 3]6OrtoclasioKAlSi 3 O 872OrthoclaseBresil.jpg
7QuartzSiO 2100Quartz Brésil.jpg
8TopazAl 2 SiO 4 (OH - , F - ) 2200Topaz cut.jpg
9corundumAl 2 O 3400Cut Ruby.jpg
10DiamondC1600Rough diamond.jpg
  1. ^ They scratch with the nail.
  2. ^ Streak with a steel tip.
  3. ^ Do not scratch with a steel tip.
To give some examples, in this scale the hardness of a nail is 2.2, of the tip of a steel knife from 5.1 to 5.5, of window glass from 5.6 to 6.5, of an iron file of about 6.5, of porcelainfrom 6 to 7; some types of ceramics , including porcelain stoneware , can reach hardness 8.

Intermediate levels edit edit wikitesto ]

The following table shows the various intermediate levels.
HardnessSubstance or mineral
0.2-0.3cesium , rubidium
0.5-0.6lithium , sodium , potassium
1talc
1.5gallium , strontium , indium , tin , barium , thallium , lead , graphite , ice [2]
2hexagonal boron nitride , [3] calcium , selenium , cadmium , sulfur , tellurium , bismuth
2.5-3gold , silver , aluminum , zinc , lanthanum , cerium , jet
3calcite , copper , arsenic , antimony , thorium , dentin
3.5platinum , slate
4fluorite , iron , nickel
4-4.5steel
5apatite , zirconium , palladium , obsidian
5.5beryllium , molybdenum , hafnium , glass , cobalt
6orthoclase , titanium , manganese , germanium , niobium , rhodium , uranium
6-7fused quartz , pyrite , silicon , ruthenium , iridium , tantalum , opal , peridot , tanzanite
7osmium , quartz , rhenium , vanadium
7.5-8emerald , tungsten , spinel
8topaz
8.5chrysoberyl , chromium , silicon nitride , tantalum carbide
9corundum , tungsten carbide
9-9.5silicon carbide , titanium carbide
9.5-10boron , boron nitride , stishovite
10diamond , carbonado
> 10nanocrystalline diamond (iperdiamante, fullerite superdura)